Kepemilikan tanah dalam Islam

26/09/2021 by Herlindah

Setiap Jum’at malam Perkumpulan PMIND (Pegiat, Pemerti dan Penggerak Perubahan Masyarakat Indonesia) menyelenggarakan sebuah diskusi yang biasa disebut NgoPII (Ngobrol Perkara Imam dan Imun) melalui media zoom. Pada NgoPII kali ini pada 24 September 2021, bertepatan dengan HUT UUPA atau yang dikenal dengan Hari Tani Nasional yang ke-61, tema yang diusungpun menyesuaikan. Topik yang dipilih yaitu “Pemilikan Tanah dalam Perspektif Islam”.

Diskusi telah ditayangkan di channel Youtube Herlindah Herlindah lihat disini

Materi diskusi disini

Semoga bermanfaat.

Jenjang Karir Dosen

01/01/2021 by Herlindah

Sebagai seorang dosen, sudah seharusnya ia memahami bagaimana arah perkembangan karirnya di masa depan. Ia, dalam tulisan ini adalah saya ;p (sambil menunjuk hidung sendiri).

Postingan kali ini adalah postingan pertama saya di tahun 2021 yaitu suatu Diagram mengenai jenjang karir dosen berdasarkan Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat Dosen PO-PAK-2019_MULAI-BERLAKU-APRIL-2019 yang dikeluarkan oleh Dirjen Sumber Daya Dikti Kemenristek Dikti 2019. Sekarang sebenarnya Kementeriannya sudah bergabung menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mungkin akan segera berubah tapi belum tahu kapan.

Sebagai insan yang “apa-apa serba visual”, kadang kesulitan untuk bisa mengingat cepat tanpa dibuat terlebih dahulu gambar besarnya. Nah, diagram ini sebenarnya untuk mempermudah diri saya sendiri, tapi who knows ada orang lain yang membutuhkannya. Semoga bermanfaat.

diagram jenjang karir dosen

Berikut dalam bentuk dokumennya Jenjang Karir Dosen

Pelaksanaan land reform di India berdasarkan laporan yang dibuat tahun 1966

24/11/2020 by Herlindah

Pasca perang dunia kedua, land reform dilaksanakan hampir di semua negara-negara bekas jajahan kolonial, dimana timeline waktunya satu sama lain tidak jauh berbeda yaitu sekitar tahun 60 an sampai 66 an. Nah, berikut adalah ulasan singkat pelaksanaan di negara India berdasarkan hasil laporan Panitia Nasional landreform di India tahun 1966.

PELAKSANAAN PEMBATASAN LUAS KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH DI INDIA

No. Negara bagian Peraturan Keterangan
1. Andhra Pradesh Andhra Pradesh Ceiling on Agricultural Holdings Act, 1961 a family holding varies from 6 to 72 acres

The ceiling law was brought into force with effect from June 1, 1961. There is no provision dealing with the problem of transfers.

The law has thus only a limited significance.

2. Assam the ceiling Act (batasan sewa)-sebagian besar tanah adalah milik negara dan disewakan.

 

The land reform laws are not applicable to the tribal areas.

which fixed the time limit on resumption no ejectments could take place after February. 1963. There is no provision, however, for the regulation of voluntary surrenders or for converting tenants of non- resumable lands into owners.

Legislation has been enacted for fixation of ceiling on future acquisition as well as existing holdings at 50 acres.

 

3. Bihar the Ceiling Act of 1961

Sebagian besar tanah milik negara dan disewakan.

The ceiling is 20 standard acres (one standard acre varies from 1 to 3 acres).
4. Gujarat Ceiling Act (batas sewa)

Bombay Tenancy Act.

the maximum rent varies from 2 to 5 times the assessment

Ceiling on existing holding and future acquisition has been fixed at 19 to 132 acres.

 

5. Kerala The Kerala Land Reforms Act

(masalah batas sewa lahan)

(5) a ceiling at 12 standard acres (15 to 36 ordinary acres).

the determination of fair rents and other matters are taking too much time.

6. Madhya Pradesh the Madhya Pradesh Land Revenue Code 1959 ceiling on land holdings at 25 standard acres (25 to 75 ordinary acres). The landholders were permitted to dispose of the surplus land s within a period of two years from the commencement of the law to persons in prescribed categories. The State Government can acquire thereafter any surplus land left with the landholder The period of two years expired on November 15. 1963.
7. Madras the Madras Cultivating Tenants Protection Act, 1955 and the Fair Rent Act 30 standard acres (24 to 120 ordinary acres). The ceiling legislation was brought into force from 2nd October, 1962.

Permasalahannya tidak ada catatan tertulis mengenai sewa tanah, semua dilakukan secara lisan.

8. Maharashtra   The landlords were permitted to resume one-half the area leased subject to a maximum of 3 family holdings.

Ceiling on existing holdings has been fixed at 18 to 126 acres. Ceiling on future acquisition has been fixed at 2/3rd of the ceiling on existing holdings.

 

9. Mysore The Mysore Land Reforms Act

The Act as amended was brought into force on 2nd October 1965

 

ceilings on existing holdings at 27 standard acres and on future acquisition at 18 standard acres.

not much surplus area would be available for redistribution.

 

 

10. Orissa The Orissa Land Reforms Act ceiling at 20 standard acres (one standard acre varies from 1 to 4 acres according to class of land).

The committee concluded that there should be no further extension of the time limit for resumption of tenanted land.

11. Punjab Land Tenures Act and in Pepsu area under the Pepsu Tenancy and Agricultural Land Act. In Pepsu ceiling is 30 standard acres. In the Punjab area there is no ceiling on ownership.

The provisions with regard to maximum rent also do not appear to be effective in many cases and the rent exceeding the level provided in the law and going up to half of the gross produce are quite common. Receipts for rents are not given inspite of provisions in the law.

12. Rajasthan the Rajasthan Tenancy Act ceilings on land holdings at 30 standard acres, which varies from 22 to 336 ordinary acres.

Much headway has not been made in implementing ceiling.

 

13. Uttar Pradesh The U.P. Zamindari Abolition and Land Reforms Act The ceiling has been imposed at 40 acres of fair quality land. 8.052 persons are reported to be holding ; land above the ceiling. About 2.23 lakh acres have so far been declared surplus out of which l. 57 lakh acres have been taken possession of and 96618 acres distributed.
14. West Bengal the West Bengal Estates Acquisition Act.

the Land Reforms Act

Provision has been made for the imposition of ceiling on existing and future acquisition at 25 acres.

 

15. Himachal Pradesh The Himachal Pradesh Abolition of Big Landed Estates and Land Reforms Act of 1954 a limited right of resumption to land owners for personal cultivation of one-fourth of the leased area not exceeding 5 acres, ceilings on land holdings at 30 acres in District Chamba and an area assessed to Rs.125 in other districts.

The provisions of section 15 for bringing tenants into direct relation with the State and of Chapter VIII for ceilings on holdings had not been enforced.

16. Goa

 

Saran panitia:

(1) Pengaturan administratif untuk penegakan dan pengawasan seringkali tidak memadai dan opini publik belum cukup dibangun untuk mempercepat laju reformasi.

(2) Catatan penyewa yang penting untuk pelaksanaan reformasi tanah yang efektif tidak ada di beberapa negara dan seringkali tidak lengkap dan ketinggalan zaman bahkan jika ada.

(3) Kondisi ekonomi penyewa, meskipun telah diberikan hak tetap, masih lemah. Mereka harus memiliki hak untuk melakukan perbaikan dan mendapatkan kredit pertanian tepat waktu dari koperasi dan instansi pemerintah untuk melakukan perbaikan.

(4) Di beberapa negara, seperti kawasan Andhra, Assam, Bihar, Madras dan West Bengal, ketentuan yang ada untuk jaminan kepemilikan bersifat sementara dan langkah-langkah komprehensif untuk membawa penyewa dan berbagi petani ke dalam hubungan langsung dengan Negara belum diadopsi.

(5) Kebanyakan pengusiran berbentuk penyerahan diri secara sukarela. Beberapa negara belum menerima saran yang dibuat dalam rencana dalam hal ini. Di masa depan penyerahan tidak diizinkan kecuali kepada Pemerintah.

(6) Hak untuk memulai kembali memperluas cakupan pengusiran. Mengingat periode yang telah berlalu, seharusnya tidak ada lagi hak untuk melanjutkan.

(7) Di daerah Andhra, Jammu & Kashmir, Madras. Punjab dan Benggala Barat, harga sewa belum diturunkan menjadi 1⁄4 dari hasil kotor atau kurang. Selain sewa produk belum dihapuskan dan diganti dengan sewa tunai tetap di ini dan beberapa negara lainnya. Hal ini diperlukan agar ketidakpastian yang timbul dari fluktuasi tahunan harga sewa dapat dihilangkan dan penggarap dijamin akan mendapatkan keuntungan penuh dari investasinya.

sumber bacaan: Implementation of
Land Reforms, A Review by the Land Reforms Implementation Committee of the National Development Council Government of India Planning Commission New Delhi August, 1966

Bagaimana dengan di Indonesia?

next, kita cicil bahasnya ya.

9 Juta Hektar Tanah untuk Rakyat Tani dan Buruh Tani

26/11/2014 by Herlindah
300px-Jakarta_farmers_protest23

http://en.wikipedia.org/wiki/Land_reform

Oleh Herlindah

Pada prioritas ke-5 dalam Nawa Cita Pemerintahan Jokowi-JK dinyatakan bahwa “kami akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.” Salah satu programnya yaitu Program “Indonesia Kerja” dan “Indonesia Sejahtera” melalui Reforma Agraria 9 Juta hektar untuk rakyat tani dan buruh tani. Pertanyaannya adalah tanah siapa yang akan dibagikan?

Berdasarkan angka sementara Statistik Lahan Pertanian 2013 (kesepakatan Menteri pertanian dan BPN), pada tahun 2012 total lahan pertanian seluruh Indonesia adalah 39.594.536,91 ha. Terdiri dari lahan sawah (irigasi dan non irigasi) 8.132.245,91 ha, tegal/kebun 11.949.727,00 ha, ladang/huma 5.260.081,00 ha dan lahan yang sementara tidak diusahakan 14.252.383,00 ha wilayah paling luas berada di Papua dan Kalimantan. Angka-angka ini hanya melihat pada aspek penggunaannya saja tidak melihat pada aspek penguasaan dan kepemilikannya. Lahan yang belum digunakan belum tentu tidak ada yang penguasa atau pemiliknya.

Reforma Agraria dalam arti luas yaitu meliputi landreform dan access reform. Sementara dalam arti sempit reforma agraria diartikan sebagai landreform saja, yaitu perombakan mengenai penguasaan dan kepemilikan tanah serta hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), setidaknya ada 3 hal pokok yang menjadi perhatian berkaitan dengan landreform. Pertama, Larangan penguasaan tanah melampui batas; Kedua, tanah untuk tani dan harus dipergunakan secara aktif; dan ketiga adanya penetapan luas maksimum dan minimum tanah pertanian untuk perseorangan dan badan hukum.

Penguasaan tanah melampui batas, apakah batasnya adalah aturan yang mengaturnya ataukah batas sejauh apa kebutuhan dan kesanggupan yang menguasai tanah tersebut. Jika batasnya adalah aturan yang mengaturnya, meskipun masih dinyatakan berlaku hingga kini Undang-undang No.56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Maksimum Tanah Pertanian tidak pernah benar-benar ditegakkan. Undang-undang ini hanya untuk kepemilikan tanah pertanian secara perseorangan dengan status hak milik dan tidak berlaku untuk hak-hak sementara lainnya seperti HGU dan Hak Pakai, juga tidak berlaku bagi badan hukum.

Bila batasannya adalah batas kebutuhan dan kesanggupan yang menguasai tanah, untuk perorangan mungkin masih bisa diukur. Namun bagaimana untuk badan hukum atau korporasi? Rasanya sangat tidak mudah menjadikannya sebagai ukuran atau batasannya, karena kemampuan/kesanggupan badan hukum dari waktu ke waktu semakin kuat didukung modal dan teknologi yang terus terus berkembang terlebih lagi dengan adanya investasi pertanian skala besar dengan melibatkan investor asing.

Aturan hukum penetapan luas maksimum tanah pertanian untuk badan hukum hingga kini belum ada. Padahal, tren penguasaan tanah pertanian saat ini lebih didominasi oleh badan hukum baik privat maupun publik. Selama ini aturan yang digunakan adalah Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi. Jelas hal ini tidak tepat, karena berbeda secara filosofis, aturan ini mengacu kepada Undang-undang Penanaman Modal bukan pada UU tentang Landreform. Adanya Ijin lokasi tidak serta merta melahirkan hubungan hukum berupa kepemilikan dan penguasaan antara badan hukum dengan tanah pertanian yang dikuasai. Sedangkan landreform mensyaratkan adanya hubungan hukum berupa hak penguasaan dan kepemilikan.

Selama belum ada pengaturan mengenai batasan luas maksimum berapa luas maksimum tanah yang boleh dikuasai oleh badan hukum, maka selama itu pula tidak ada kepastian dalam pelaksanaan landreform bagi badan hukum. Hal ini akan sulit dilaksanakan, karena tidak jelas berapa kelebihan penguasaan tanah pertanian yang dapat dijadikan objek landreform (tanah yang nantinya akan dibagi-bagikan kepada rakyat tani dan buruh tani).

Oleh karena itu, sebelum dilaksanakan bagi-bagi tanah 9 juta hektar tersebut, untuk mencegah terjadinya konflik baik vertikal maupun horizontal, baiknya disiapkan terlebih dahulu instrumen hukum yang tepat yang dapat memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi para pihak baik yang harus rela melepaskan tanahnya juga bagi pihak yang akan menerima tanahnya. Dengan mempertimbangkan hal-hal berikut:

Pertama, adanya aturan hukum tentang luas maksimum tanah pertanian untuk badan hukum setidaknya berbentuk peraturan pemerintah yang secara langsung mengacu kepada UU landreform bukan pada undang-undang lainnya. Dengan batasan pada kontribusinya kepada tingkat kesejahteraan masayarakat sekitar, jenis usaha pertanian, nilai keekonomian usaha, keberadaan tenaga masyarakat sekitar dan pengakuan hak masyarakat adat.

Kedua, adanya lembaga khusus semacam Komisi Penegakan Landreform seperti KPK, Komnas HAM, KPI dan lainnya yang nantinya secara khusus menangani permasalahan landreform. Ketiga, tersedianya data pendukung yang akurat mengenai luas penguasaan tanah pertanian oleh badan hukum hasil kerjasama pemerintah daerah berkaitan dengan penguasaan secara fisik, BPN berkaitan dengan status hak atas tanah dan Kementerian Hukum dan HAM berkaitan dengan badan hukumnya. Keempat, adanya mekanisme ganti rugi yang fair karena hak kepemilikan diakui sebagai bagian dari HAM yang tidak boleh diabaikan.

Pertanyaan selanjutnya adalah beranikah pemerintah melakukan landreform kepada badan hukum terutama yang dimiliki oleh mereka kelas konglomerat dan beberapa elit partai politik tertentu? Jangan sampai slogan bagi-bagi 9 juta hektar tanah pertanian itu hanya menjadi lip service pada saat kampapnye pilpres kemaren. Dah gitu aja.

SERTIFIKAT TANAH GANDA

08/11/2013 by Herlindah
www.kantorhukumkalingga.blogspot.com

www.kantorhukumkalingga.blogspot.com

 

 

 

 

 

 

Sertifikat ganda adalah salah satu permasalahan yang sering terjadi di dalam masyarakat. Berikut adalah email yang dikirim ke saya terkait dengan sertifikat ganda.

PERTANYAAN:

On Tue, 11/5/13, linsurya@yahoo.com <linsurya@yahoo.com> wrote:

Saya ulin di jogja. Mau nanya bu, tanah kami di banjarmasin di dobel sertifikatnya oleh mafia tanah? Sdh dijual oleh mafia tsb ke oknum polisi? Apa yg hrs kami lakukan bu? Awalnya kami ingin mjual tanah tsb.hrskah kami mengusut tanah itu? Ato dijual saja?mtrnwn

Powered by Telkomsel BlackBerry®

On Wed, 11/6/13, Herlindah <herlindahpetir@yahoo.com> replied:

 

Bpk/ibu ulin yang baik, kalau boleh tahu, antara sertifikat ibu/bpk dengan sertifikat yg lain tsb yang mana lebih dulu? Hal ini penting untuk diketahui berkaitan dengan riwayat tanah.

Kemudian, siapa yang saat ini menguasai tanah tsb secara fisik? Bagaimana anda mengetahui bahwa tanah tsb memiliki sertifikat ganda? Terhadap hal ini, apakah sudah pernah dilaporkan kepada kantor wilayah pertanahan dimana tanah tsb terletak?

Catatan: polisi atau bukan dalam hal kepemilikan tanah sama dihadapan hukum. Jd, tidak perlu terpengaruh.

On Thu, 11/7/13, Maulina Suryaningrum <linsurya@yahoo.com> replied:

 

Aslkm..alhamdulillah,maturnuwun email sy dibales ya bu.. Awal critanya begini bu. Tanah yg dibanjarmasin itu peninggalan ortu yg dibeli thn 81,kwitansi pembelian awal jg msh ada.dan beberapa bulan ini kami mdpt berita dr sodara di banjarmasin, kl tanah tsd di duplikat org(info dr makelar tanah

 

Kami bingung, langkah awal apa yg harus kami lakukan ya bu?hrskah kami mengusut masalah yg ktny sertifikat kami diduplikat,yg sdh pindah tgn?? Ato kami jual saja tanah yg niat awalnya memang akan kami jual ato menunggu selesai mslh ini?

 

Maturnuwun sanget

JAWABAN:

Walaikumsalam Wr Wb, sama-sama mbak Ulin. Mohon maaf atas kelambatan balasan dari saya.

Bismillah, saya akan mencoba menjawab atau memberi preskripsi atas permasalahan sertifikat tanah ganda yang sedang dihadapi keluarga mbak Ulin.

Akan dijual atau tidak tanah tersebut, saran saya, baiknya permasalahannya diselesaikan terlebih dahulu. Jangan lakukan perbuatan hukum apapun kecuali sudah jelas siapa yang berhak atas tanah tersebut (sampai adanya suatu kejelasan sertifikat mana yang diakui sah dan sertifikat mana yang dibatalkan). Sebab, ketidakjelasan objek atau subjek atas tanah mengakibatkan tidak jelas pula akibat hukum dari suatu perbuatan bahkan perbuatan hukumnya dianggap tidak pernah ada. Pembelian tanah dilakukan pada tahun 1981 artinya dasar hukum pendaftaran tanah pada saat itu masih menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.

Langkah awal, sebaiknya orang tua mbak Ulin (nama yang ada di sertifikat) datang ke kantor pertanahan dimana tanah itu terletak dengan membawa sertifikat serta bukti-bukti pendukungnya (surat keterangan tanah dari desa dll). Mohon untuk dilakukan pengecekkan terhadap objek tanah tersebut. Atau cara praktis lainnya adalah minta bantuan notaris/PPAT setempat untuk melakukan pengecekkan terhadap objek tanah seolah ada yang akan membeli. karena notaris/PPAT mempunyai akses untuk itu. Biasanya biaya yang dikenakan kurang lebih 100 ribu. Pengecekkan yang dilakukan oleh Notaris/PPAT ini biasanya dilakukan sebelum dilakukannya perbuatan hukum atas tanah misalnya jual-beli, pembebanan hak tanggungan, dll. Hal ini untuk mengetahui apakah tanah tersebut benar dimiliki oleh orang yang namanya tercantum di dalam sertifikat, sedang dalam sengketa atau sedang dijaminkan dengan hak tanggungan.

Bila hasil pengecekkan didapati ternyata dengan objek yang sama terdapat dua subjek (nama pemilik) yang berbeda, maka langkah selanjutnya adalah melaporkannya kepada Kantor Pertanahan setempat untuk dilakukan koreksi atau  penelaahan secara komprehensif. Pihak BPN akan meneliti kedua sertifikat tersebut tahun terbitnya, data fisik dan yuridis, peta ukur serta dasar pemberian hak dan sebagainya. Bila proses pendaftaran tanah dilakukan dengan benar tentu sertifikat ganda tidak akan pernah terjadi. Sebab, Penerbitan Sertifikat merupakan proses akhir dari keseluruhan proses pendaftaran tanah. Selanjutnya bila hasil penelahaan BPN tidak memuaskan atau ketika dilakukan musyawarah dengan pemegang sertifikat lainnya tersbut dimana BPN sebagai penengah tidak ditemukan jalan keluar, maka mau tidak mau harus ditempuh jalur pengadilan yaitu dengan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Pendaftaran tanah meliputi kegiatan Pengumpulan Data, Pengumuman Data, Pengesahan Data, Pembuatan Buku Tanah dan Penerbitan Sertifikat. Kegiatan pengumpulan data yaitu mengumpulkan Data Fisik dan data yuridis. Untuk data fisik data yang dikumpulkan yaitu mengenai luas, batas, letak tanah. Mengenai luas tentu harus melalui proses pengukuran dimana petugas pertanahan akan datang langsung ke lokasi dan melakukan pengukuran. Sedangkan untuk batas, harus ada kesepakatan semua pemilik tanah yang berbatasan. Dalam proses ini sangat rawan untuk terjadi penyimpangan, misalnya surat keterangan batas yang harusnya di tandatangani oleh pihak yang berbatasan langsung bisa saja dipalsukan dalam artian pihak yang berbatasan tidak pernah dimintai keterangan dan persetujuan tentang batas. Tanda tangan yang dibubuhkan tentu saja dipalsukan. Sedangkan untuk letak akan dilihat dari posisi tanah dimana tanah itu berada.

Selanjutnya untuk data yuridis yaitu data mengenai subjek dan sejarah sejarah perolehannya.  apakah diperoleh melalui jual-beli, warisan, hibah, atau permohonan baru atas tanah negara. Alat Bukti awal tertulis: sertifikat-sertifikat sebelum tahun 1961 yg dikeluarkan oleh pemerintah swapraja; Surat bukti Pemilikan; Surat bukti Pembayaran pajak seperti Petuk, Ipeda dan PBB. BilaTidak ada alat bukti awal tertulis, maka yang digunakan alat bukti lain seperti SPPT-PBB yang dilengkapi dengan surat pernyataan dengan 2 orang saksi dan keterangan tambahan masyarakat setempat yang faham sejarah tanah yang dimaksud. Bila tidak ada juga maka yang digunakan adalah penguasaan tanah secara fisik selama 20 tahun secara berturut-turut.

Selanjutnya dilakukan pengumuman data di kantor desa. Lamanya pengumuman, untuk sistematik 30 hari dan untuk sporadik 60 hari. Maksudnya, untuk memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan. Apabila tidak ada bantahan, maka data fisik dan yuridis  itu disahkan. Apabila terdapat keberatan, maka diusahakan  damai, bila tidak bisa-melalui pengadilan.

Bila melihat dari rangkaian proses pendaftaran tanah di atas, kecil kemungkinan terjadinya sertifikat ganda. Sertifikat ganda hanya dapat terjadi bila terjadi kesalahan di dalam proses pendaftaran tanah. ATAU…

Terkait permasalahan mbak Uli, sejak terbitnya sertifikat 1981, tanah tersebut seandainya tidak pernah diterlantarkan, ada tanaman dan bangunan di atasnya, intinya tidak dibiarkan begitu saja, maka sudah pasti terjadi kesalahan dalam prose pendaftaran tanahnya. Mungkin telah terjadi pemalsuan berbagai informasi.

Tetapi apabila telah diterlantarkan. Bila dihitung sampai 2013, kurang lebih kurun waktu 32 tahun tanah tersebut dibiarkan tak bertuan, tanpa tanaman atau bangunan. atau seandainya saja pada tahun 1981 (ditahun yang sama setelah terbit sertifikat) ada pihak lain yang menempati dan menggunakan tanah tersebut untuk pertanian berupa kebun atau tempat tinggal secara berturut-turut hingga tahun 2002 yang berarti kurang lebih sudah 20 tahun secara berturut-turut kemudian dia mengajukan permohonan sertifikat ke BPN. Meskipun ada data di buku tanah di BPN tercatat bahwa objek tanah tersebut tercatat atas nama orang tua mbak Uli, namun pihak BPN  sulit atau tidak mengetahui keberadaan orang tua mbak Uli. Sehingga dengan bukti-bukti penguasaan secara fisik yang ditunjukkan oleh pemohon serta kesaksian dari pihak-pihak yang berbatasan langsung menjadi pertimbangan BPN bahwa pemohon baru tersebut berhak untuk diberikan hak dan diberikan sertifikat.

Bila hal ini yang terjadi, maka hingga 5 tahun semenjak terbitnya sertifikat pemegang hak dapat mengajukan gugatan pembatalan sertifikat. Namun apabila lewat dari 5 tahun maka  si pemegang hak akan kehilangan hak menggugatnya. Namun untuk hal ini masih saya pelajari mohon maaf bila tidak lengkap dengan dasar hukumnya.

 

Pendaftaran tanah mempunyai 3 tujuan:

1.Untuk Memberikan Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum

2.Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yg berkepentingan

3.Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan

 

ketiga hal ini dapat diberikan bila sampai pada terbitnya sertifikat. Kepastian hukum dalam hal apa? mengenai siapa yang berhak atas tanah tersebut. sebab, hanya yang berhak yang dapat mengalihkan haknya. Perlindungan hukum bagi siapa? bagi pemegang hak dari pihak lain yang bermaksud buruk terhadap haknya juga bagi si calon penerima hak misalnya pembeli. Pembeli harus mengetahui siapa yang berhak secara sah terhadap tanah tersebut. sekali lagi, haknya yang berhak yang dapat mengalihkan haknya. Bila bukan yang berhak yang mengalihkannya, maka akibatnya hak tersebut tidak pernah beralih. Tujuan kedua untuk menyediakan informasi, apabila informasinya benar. kalau proses mendapatkan informasi tersebut salah maka informasi yang disediakanpun akan salah. Begitu juga dengan tujuan ketiga tidak akan tercapai ketertiban administrasinya apabila banyak permasalahan yang timbul akibat informasi yang salah.

Meskipun dinyatakan secara tegas bahwa Sertifikat adalah alat bukti terkuat namun ia bukan harga mati. Sebab, di atas segalanya kebenaran adalah hal yang utama. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran formil dan materiil. Keduanya akan menjadi pertimbangan di pengadilan. Hak hanya untuk yang berhak.

Demikian uraian dari saya. Semoga bermanfaat baik bagi mbak Uli maupun pembaca blog ini lainnya.