Makna dibalik Kuliah Hukum S1, S2 dan S3

Selasa, 1 Nopember 2011
Jangankan orang awam, terus terang saya sendiri sebagai dosen hukum sekarang baru faham apa sih bedanya kuliah hukum S1 (sarjana), S2 (magister) dan S3 (Doktor). Selama ini ya dijalani saja..waktu kuliah S1, bagaimana kata kampus berkaitan kurikulum dan tugas akhir semestinya bagaimana ya saya terima, gitu juga ketika S2. Hanya saja setelah sekarang saya jadi mikir. Dulu waktu membuat skripsi tentang prostitusi waria dimana pembimbing utamanya pak Yesmil Anwar ada hal yang membuat saya bingung. Hal ini terjadi pada saat saya akan melakukan analisa bagian Bab IVnya. Pak Yesmil bilang kalau saya sebaiknya jangan terlalu jauh, itu untuk tesis (tugas akhirnya S2). Bodohnya, saya bukannya Tanya apa maksudnya, malah diam saja dan ngebathin dalam hati. “aneh, emang kenapa sih saya ga boleh analisanya terlalu jauh, bukannya semakin jauh semakin bagus, kok pake dibatasi segala?.” Pertanyaan itu hanya saya simpan di dalam hati. Selanjutnya saya hanya mematuhi saran pak Yesmil, bahwa ada beberapa teori-teori yang harus dibuang. Kemudian S2, saya juga mengalami kebingungan, kembali saya mengulangi kebodohan saya, bingung tapi diam saja. Saya hanya menunggu jawaban tersirat dosen pembimbing saya pak Sutanto, kalau dia oke berarti nggak ada masalah, tapi kalau salah pastilah dia akan koreksi saya. InsyaAllah pada saatnya nanti, saya akan kuliah S3, hanya saja saat ini selain harus persiapkan diri juga sedang berkonsentrasi pada tumbuh kembang anak-anak. Proyek seumur hidup gitu lho..pan kalo sekolah ada abisnya. Sementara jadi ortu, selama kita masih hidup dan punya anak-anak ya mesti terus. Nah, agar tidak jadi orang bodoh abadi dengan mengulangi kebodohan-kebodohan saya sebelumnya, maka sebelum hari “H” kuliah S3, saya mesti faham lahir bathin apa itu bedanya antara S1, S2 dan S3.
“Busyet, nggak capek lu Lin sekolah terus?” gini balesan temen chat saya yang kebetulan menikah dengan orang Belanda dan tinggal menetap di Belanda merespon ungkapan keinginan (cita-cita, boleh dong.. ;p ) saya untuk kuliah S3 di Leiden University. Respon teman saya gitu, mungkin karena dia sendiri ga faham mengapa sekolah kok sampai ada S3 segala. Dan andai saja dia tahu, kalau sekolah tingkat terakhir (S3) mempunyai makna yang berbeda bagi seorang dengan profesi tertentu dengan seorang akademisi seperti saya. Gini ceritanya:
Perkuliahan diadakan karena adanya suatu tujuan misalnya yaitu menjadi Sarjana bagi S1, menjadi Megister untuk S2 dan menjadi doctor untuk S3. Perkuliahan itu sendiri adalah suatu kegiatan belajar mengajar dengan waktu tertentu dan subjek mata kuliah tertentu. Rangkaian mata kuliah yang diberikan atau dijalani tersebut merupakan suatu system dengan satu kesatuan dengan subjek mata kuliah yang lain yang disebut kurikulum. Kurikulum tersebut disusun tidak hanya asal susun, tapi ada pedomannya. Pedoman ini dianggap sebagai ukuran output yang akan dicapai/didapat setelah kuliah. Terkait hal ini, mendiknas mengeluarkan keputusan untuk dipatuhi oleh seluruh perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di seluruh Indonesia yaitu Kepmendiknas No.232/U/2000 tentang Pedoman penyusunan Kurikulum pendidikan tinggi dan penilaian hasil belajar mahasiswa.
STRATA 1/SARJANA:
Menguasai dasar-dasar ilmiah dan ketrampilan, mampu menemukan, memahami, menjelaskan dan merumuskan cara penyelesaian masalah di bidangnya
Mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan dalam kegiatan produktif dan pelayanan masyarakat.
Mampu bersikap dan berprilaku sesuai bidang ilmunya.
Mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan sesuai bidangnya.
STRATA 2/MAGISTER:
Mampu mengembangkan dan memutakhirkan ilmu pengetahuan sesuai bidangnya, menguasai dan memahami pendekatan metode dan kaidah-kaidahnya.
Mampu memecahkan permasalahan melaui penelitian.
Mampu mengembangkan kinerja professional yang ditunjukkan dengan ketajaman analisis permasalahan serta keserbacakupan tinjauan dan kepaduan pemecahan masalah.
STRATA 3/DOKTOR:
Mampu mengembangkan konsep ilmu melalui penelitian.
Mampu mengelola, memimpin dan mengembangkan program penelitian.
Mampu melakukan pendekatan interdisipliner.
Sebenarnya pedoman ini masih sangat umum. Berbeda bidang ilmu tentu akan berbeda pula kemampuan khusus yang akan dicapai. Tentu, akan berbeda pula pendekatan yang akan dilakukan di dalam menyampai masing-masing kurikulum susuai bidang ilmu yang dimaksud.
Apa yang akan dicapai dari tiap strata di atas pada akhirnya akan diukur dengan adanya tugas akhir melalui sebuah penelitian (meskipun idealnya, ini bukanlah satu-satunya ukuran tapi lebih kepada “what’s next” setelah lulus). Dimana masing-masing Strata mempunyai perbedaan sendiri terkait kedalaman lapisan keilmuannya/ kedalaman isu yang diajukan dalam penelitiannya tersebut. S1 bisa berbentuk Skripsi atau Legal Memorandum, S2 berbentuk Tesis dan S3 bentuknya Disertasi.
Dari buku berjudul Penelitian Hukum karangan Prof.Dr.Peter Mahmud Marzuki, SH, LL.M saya telah merangkum salah satu babnya yang intinya membedakan kedalaman isu hukum antara Skripsi, Tesis dan Disertasi.
SKRIPSI:
Hanya menjawab problem yang ada pada tingkat realitas
Hanya menjawab isu hukum dalam lapisan dogmatic hukum
Contoh isu hukum:
Apakah yang dimaksud dengan kegiatan utama dalam pasal….?
Apakah akibat hukumnya apabila…tidak…?
TESIS:
Sudah harus mempersoalkan masalah-masalah yang bersifat teoritis
Menjawab permasalahan-permasalahan yang bersifat teoritis karena pokok perbincangan sudah menyangkut teori
Contoh isu hukum:
Apakah ketentuan pasal…merupakan ketentuan yang bersifat memaksa (dwingen recht)?
Apakah ketentuan pasal… dapat dibenarkan dari segi teori hukum perburuhan?
DISERTASI:
Harus mengungkap sesuatu yang bersifat filosofis
Harus sampai kepada filsafat hukum
Dari pemikiran filosofis inilah penulis disertasi dapat membangun teori atau konsep baru atau menggugurkan teori/konsep hukum yang ada. Bahkan mungkin akan menemukan asas-asas hukum yang baru
Contoh isu hukum:
Apakah ketentuan pasal…merupakan refleksi dari konsep Negara kesejahteraan?
Apakah ketentuan pasal… sesuai dengan prinsip hukum perburuhan?
Nah, kebetulan yang menulis buku ini adalah Guru besar di bidang hukum Tata Negara. Coba kita cari tahu lagi bagaimana menurut mereka dari bidang hukum yang lain seperti Prof. Sudikno Mertokusumo dari UGM atau Alm. Prof. Satjipto Raharjo dari Undip dan lainnya. Tunggu saja ya..eh iya, dalam suatu Lokakarya kurikulum di FH Universitas Brawijaya (31/10/11) kemaren Prof. Hikmahanto Juana memaparkan bagaimana perbedaan tiap strata di beberapa Negara maju seperti Jepang, USA, Inggris dan Negara-negara Eropa lainnya. Wow..what can I say? Ternyata di luar sana mereka tidak hanya membedakan kedalaman ilmu sesuai strata tetapi secara tegas membedakan pendidikan dengan tujuan profesi atau akademis. Sekian dulu, doakan terus saya dapat hidayah, ilmu hikmah dan pentunjuk-Nya agar terbebas dari keraguan dan ketidakpastian dalam hidup ini …aamin YRA

Tags: