Tidak dapat dipungkiri bila kita masih menilai keberhasilan pembangunan dari seberapa banyak atau majunya pembangunan fisik di suatu tempat. Padahal, semestinya bangunan fisik itu hanyalah sarana pendukung saja. Seharusnya, Maju atau tidak majunya suatu daerah dilihat dari tingkat pendidikan (daya pikir dan prilaku), standar hidupnya (kesehatan dan kesejahteraan secara finasial) dan pekerjaan mereka.
namun sangat berbeda dengan apa yang terjadi di beberapa tempat lingkungan perumahan yang saya lihat langsung. ada 2 tempat yang bisa saya jadikan contoh. Pertama, Perumahan Villa Bukit Tidar termasuk Graha Dewata, Palmira dan lainnya di sekitar perbatasan kecamatan Lowokwaru-karang besuki dan kabupaten DAU Malang. Kedua, daerah Seminyak, Bali. Bedanya, kalau di Malang perumahan yang dibangun memang untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal sementara seminya Bali, ditujukan untuk Pariwisata.
Hampir seluruh wilayah perkebunan milik warga hingga dipinggir kali metro sudah di beri papan pengumuman “Tanah Milik PT. Alam Mahameru” (pengembang perumahan salah satu termasuk rumah saya sendiri). Nah, kalau kita lihat siapa-siapa saja yang membeli rumah di perumahan tersebut, berdasarkan pengamatan saya sendiri, tak satupun penduduk asli di situ. Rata-rata yang beli dan menetap di situ adalah pendatang, mulai Blitar, Madiun, Kediri, Lumajang, Bali, Jogja hingga sumatera dan kalimantan. tanah kebun yang luas tersebut beralih fungsi menjadi tanah untuk pemukiman. pertanyaannya, uang yang sudah mereka dapat (hasil jual tanah) diapakan? setelah tidak ada lagi lahan untuk bertani, kerja apa mereka?
Lagi-lagi hasil pengamatan saya sendiri. Mereka-mereka khususnya para perempuan yang dulunya ikut bertani di sawah beralih kerjanya menjadi Pembantu rumah tangga di perumahan-perumahan. sementara laki-lakinya jadi kuli bangunan di perumahan-perumahan yang akan dibangun. tentu saja hasilnya tidak tetap. Sementara, anak-anak mereka banyak putus sekolah ditengah jalan. Lalu apa kontribusi pihak perumahan untuk warga sekitar? sekarang ini telah dibangun SMP negeri. Lumayan meringankan mereka sehingga sekolah tidak mesti jauh. sebentar lagi juga akan dibangun SMK Negeri. semoga aja lancar. untuk sekolah, okelah sampai SMA masih disubsidi. meski demikan banyak juga lho yang berernti, karena kebutuhan dasar untuk pangan jauh lebih mendesak. akhirnya para remaja SMP mulai satu persatu berhenti sekolah dan mulai kerja di pabrik pengolahan sampah, pabrik plastik dan sebagainya. alasannya, biar bisa bantu orang tua memnuhi kebutuhan rumah dan bisa beli HP. Belum lagi masalah pergaulan. banyak juga lho yang hamil di luar nikah dan akhirnya dinikahkan kemudian ditinggalkan suaminya tanpa ada kepastian secara hukum. dibilang janda, tidak ada akta cerainya. di bilang istri orang, tidak ada suaminya yang bertanggung jawab dan secara kelakuan mereka bebas saja bergaul dengan sesama jenis layaknya bujang dan gadis.
Lalu, kita beralih ke seminyak Bali. saya disana hanya 4 hari, tapi mohon maaf kalau terlalu lancang berani-beraninya menilai tempat orang. tapi, sesuai dengan judul blog saya, Corong hati dan Pikiran. sungguh, masalah ini mengusik hati dan pikiran saya. karena itu, mumpung nulis blog tidak mbayar, saya mau ceritakan.
Di seminyak, Kerobokan dan sekitarnya jalan petitenget dan sepanjang sunset Road. itu saya perhatikan sebenarnya tanah bekas sawah semua. khususnya di seminyak, kini telah berubah fungsi menjadi kawasan dagang, hotel dan Villa. siapakah yang punya? rata-rata orang-orang keturunan (Tiong Hoa) dan bahkan orang asing (Australia dsb). Masih sama pertanyaannya, dikemanakan uang hasil jual tanahnya? kerja apa mereka setelah tidak punya lahan? dari hasil obro-obrol dengan pengelola villa dan karyawannya, ternyata disana banyak juga yang kecil-kecil sudah menikah, ada juga yang hamil di luar nikah, bagaimana pendidikan dan pekerjaan mereka? memang semuanya bergantung dari bagaimana orangnya. tetapi kalau semua diserahkan kepada orangnya, iya kalau orang tersebut sudah mempunyai prinsip yang kuat dan kokh sehingga bisa memilih mana yang baik dan benar, bagaimana dengan mereka yang tidak punya prinsip yang begitu lemahnya mudah dipengaruhi oleh budaya asing? kembali ke judul post ini, Dampak pembangunan terhadap penduduk asli dan sekitarnya. apa dampaknya? positif atau negatif? sebenarnya yang mengganggu saya bukan cuma itu, tapi lebih kepada lahan pertanian yang berubah fungsi itu. Bukankah Allah sudah katakan bahwa, tanah yang satu dengan yang lain itu berbeda-beda tingkat kesuburan dan karakternya. lain tanah meskipun bibit yang sama, maka hasilnya akan berbeda. misalnya untuk sawah, bisa ditanam ya di tanah yang karakternya sesuai dengan tanah sawah. sementara untuk bangunan, itu bisa dimana saja.
Leave a Reply