Tulisan ini saya dapat di Mailing List..
Date: Wednesday, February 22, 2012, 10:46 AM
Reposted by Satrio Arismunandar
Mengapa kita bisa atau tak bisa menulis? Pertanyaan ini sengaja dibuat
untuk menggambarkan bahwa menulis artikel (ilmiah) memang tidak mudah.
Meski ada sedikit yang bisa,
sebagian besar dari kita—siswa, mahasiswa, dan dosen sekalipun— berada
pada kategori kurang bisa sampai pada tidak bisa sehingga takut untuk
mencobanya. Mudah sekali untuk membuktikan itu. Ketika Dirjen Dikti
Kemendikbud membuat surat edaran yang mewajibkan semua lulusan perguruan
tinggi baik jenjang S-1,S-2,maupun S- 3 untuk memublikasikan karya
ilmiah (skripsi, tesis, atau disertasinya) sebagai syarat kelulusan, di
antara mereka banyak yang kaget,“termehek-mehek” dengan reaksi yang
beraneka ragam.
Semua reaksi itu merupakan gambaran bahwa kita
semua,sebagianbesar,tidakdan belum bisa menulis,kecuali mereka yang
bisa,tetapi tidak mau. Dalam tulisan ini saya ingin berbagi pengalaman
mengapa sebagian besar kita tidak bisa dan sebagian kecil saja yang bisa
menulis.Memang betul kemampuan menulis tidak bisa dikarbit.Kemampuan
menulis untuk kepentingan sebuah publikasi merupakan proses yang
panjang. Ada beberapa syarat penting yang harus dimiliki penulis untuk
menciptakan sebuah tulisan yang baik yaitu knowledge, courage,
experience,dan inspiration.
Karena perlu ada ketiga aspek
penting itulah, seseorang tidak bisa serta-merta selalu siap sedia
dengan stok tulisan ilmiah. Jangankan menulis karya ilmiah kalau tidak
memiliki keempat aspek penting tersebut, saya yakin yang bersangkutan
juga tidak akan bisa menulis di rubrik pikiran pembaca di koran mana
pun. Masih sedikit di antara kita yang bisa menulis ilmiah baik berupa
buku maupun penerbitan ilmiah di berbagai jurnal ilmiah. Itulah sebabnya
Dirjen Dikti Kemendikbud prihatin terhadap begitu rendahnya publikasi
ilmiah di perguruan tinggi kita. Publication index kita saat ini
ketinggalan jauh dibanding perguruan tinggi di Singapura atau bahkan
dengan Malaysia sekalipun.
Ada yang Bisa
Di antara kita
ada yang telah sukses melahirkan tulis-an monumental.Mengapa begitu?
Jawabnya,mereka memang memiliki cukup banyak repertoir pengetahuan
(knowledge) yang diderivasikan dari penguasaan ilmu pengetahuan
tertentu.Namun, untuk melahirkan sebuah tulisan ilmiah,tak cukup hanya
ada persediaan atau stok pengetahuan dalam kepalanya. Dalam proposisi
ilmiah kondisi ini bisa digambarkan secara lugas: “it is necessary but
not sufficient”.
Masih ada syarat berikutnya yaitu keberanian
(courage). Kalau seseorang tidak berani menghadapi bayangan dan perasaan
yang menakut- nakuti akan penerbitan tulisannya di media mana pun,
tentu tidak akan lahir sebuah tulisan yang baik. Faktor berikut yang
bisa mendorong orang bisa atau tidak bisa menulis adalah pengalaman
(experience).Pengalaman akan semakin memperkaya kosakata, metafora,
substansi, serta artikulasi materi sehingga yang bersangkutan bisa
menulis dengan gaya dan materi yang mengalir begitu saja bagaikan mata
air yang tak pernah kering.
Pengalaman bisa terkait dengan “jam
terbang”. Meskipun demikian,pengalaman dapat dipercepat tidak harus
sesuai dengan usia kronologis seseorang. Hal ini terjadi karena sumber
informasi di era digital,global,dan virtual ini terbuka lebar tanpa
batas bagi siapa saja. Informasi apa saja saat ini bisa diperoleh di
situs internet yang jumlahnya miliaran, dan setiap hari berkembang
ratusan juta mengikuti prinsip deret ukur. Karena itu, supaya mahasiswa
dan atau dosen bisa menulis dengan baik, rajinlah browsing di bidangnya
masing-masing di banyak situs yang relevan dengan substansi ilmu yang
dikembangkannya.
Komponen penting terakhir yang harus dimiliki
agar mahasiswa atau dosen bisa menulis karya ilmiah ialah dimilikinya
inspirasi (inspiration) yang kuat.Hanya dengan inspirasi, orang akan
bisa melakukan kegiatan menulis secara produktif. Inspirasi bisa lahir
kalau seseorang berada pada kondisi yang bebas tanpa tekanan sehingga ia
memiliki imajinasi yang “liar” yang kemudian ditata menjadi sebuah
inspirasi positif untuk dituangkan dalam sebuah tulisan. Ingat,
imajinasi adalah dasar utama lahirnya semua teknologi penting di dunia
ini.
Sebuah mobil amat sangat mahal, dan di Indonesia masih
jarang ada yang punya kecuali para hartawan, juga lahir dari imajinasi
chief executive officer-nya ketika membesuk koleganya yang dirawat rumah
sakit.Pada saat menunggu, dia, sang CEO itu, melihat seorang anak
larilari bermain di lingkungan rumah sakit.Salah satu dari anak itu
meloncat ke atas meja yang agak tinggi, dan serta merta terjun kembali
karena dikejar kawan-kawannya. Apa pentingnya anak terjun dari meja bagi
CEO itu?
Dia melihat anak itu terjun dari meja dengan gaya
jatuh yang anggun, tanpa ada gerakan menghentak, dan tetap stabil
berdirinya kembali dari posisi: merunduk, jongkok, sampai berdiri tegak
sebagai akibat high impact karena tergesa dikejar kawan-kawan
sepermainannya. Sejak itu CEO itu berimajinasi akan membuat suspensi
mobil dengan prinsip yang memberikan kenyamanan bak anak kecil yang
jatuh dengan sangat anggun dan stabilnya tadi.Singkat cerita,lahirlah
teknologi suspensi, yang mewah, nyaman, dan stabil bagi sebuah mobil
mewah di dunia, dan sangat mahal harganya.
Itulah imajinasi yang
kemudian diolah dan diproses secara kognitif menjadi inspirasi
sebuahrekayasateknologiautomotif yang memiliki unggulan kompetitif.
Prinsip menulis juga seperti itu. Manakala seorang dosen atau mahasiswa
telah memiliki inspirasi yang kuat disertai dengan keberanian untuk
mengomunikasikan ilmu pengetahuan yang mereka miliki, berdasarkan
pengalaman positif selama ini, tak satu pun kekuatan yang bisa mencegah
mereka untuk selalu menulis, dan menulis lagi.
Meski dengan
tulisan itu mereka bisa saja menghadapi berbagai konsekuensi psikologis,
sosiologis, maupun politis kalau saja tulisan itu akhirnya mengundang
pro-kontra dan polemik yang berkepanjangan. Akhirnya, bisa disimpulkan
bahwa kemampuan menulis bukan persoalan apakah seseorang itu pintar atau
tidak secara kognitif semata,tetapi juga menyangkutmasalahkebe-ranian,
pengalaman, dan inspirasi kuat yang bisa muncul di benak para calon
penulis karya ilmiah itu sendiri.
Di era global seperti saat ini
memang kemampuan menulis ilmiah sangat vital bagi para mahasiswa dan
dosen kita. Itulah sebabnya di kampus di mana saya pernah belajar di
Amerika Serikat pada 1980-an, di semua sudut-sudut kampus itu
digelorakan semangat dan visi: Publish or Perish. Semoga kita juga bisa
begitu.●
PROF SUYANTO PHD
Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta Plt Dirjen Pendidikan Dasar Kemendikbud
Lalu, di e-mail yang lain ada salah seorang mailist menanggapi seperti ini:Simplifikasinya mengerikan. Salah satu yg protes kebijakan Dirjen Dikti yg dimaksud adalah Franz Magnis Suseno, melalui artikel di KOMPAS. Kalo protes tsb jg didudukkan krn Rm Magnis tdk bisa menulis, sungguh salah alamat.
Nah, saudara, ini kan yang diomongin kita (dosen) dan mahasiswa kita. yang nulis memang dosen juga tapi yang baca dan nanggapi banyak juga yang bukan dosen. Apa komentar kita?!