Oleh Herlindah, SH, M.Kn
Lihatlah gambar ini! Lihat tangan ibu di gambar itu dan lihat juga bungkusan plastic yang terbang di atas sungai itu! Kalau Ayu Ting-ting nyanyi “dimana..dimana..dimana..” itu karena mencari alamat lelaki yang dianggap kekasihnya, kalau saya nyanyi mencari dimana logikanya?
Gambar itu diambil pada 4 November 2011, lokasinya di bantaran sungai Brantas kelurahan Satrian kecamatan Blimbing Kota Malang dan ibu di poto itu adalah salah satu warga kelurahan Satrian. Sementara menunggu waktu menjemput anak dari sekolah (kebetulan ngajar sedang libur karena UTS) jadi saya iseng-iseng dengan motor mio merah perjuangan (3MP) menelusuri kota Malang, khususnya di wilayah pemukiman padat sepanjang sungai Brantas. Pikir saya, kalau-kalau saya dapat ilham *nyengirkuda* minimal bisa menumbuhkan rasa syukur di hati saya kalau hidup saya jauh lebih beruntung.
Bayangkan, ibu tadi itu rumahnya tepat di pinggir sungai tempat ia buang sampah. Apakah dia tidak tahu kalau buang sampah di sungai itu buruk dan jelek sekalle..alias very-very bad! Yang pasti dampak pertama kali yang merasakan ya pasti dia dan keluarga. Dengan membuang sampah seperti itu, akibatnya sungainya menjadi kotor, apalagi pake nyangkut-nyangkut segala tuh sampah di sisi-sisi sungai. Pemandangan jadi jelek, aroma tidak sedap, sumber penyakit dan rawan kebanjiran pula. Tapi kenapa dia tetap buang sampah disitu? Apa tidak kepikiran? Atau pikirnya, “ah, yang buang sampah cuman saya sendiri ini..” atau “biarlah, wong nanti juga ada yang bersihkan di hilirnya..”. atau bisa jadi, menurutnya apa yang dia lakukan sudah tepat, karena sungai mestinya akan mengalir ke hilir dan membawa sampah-sampah itu ke laut dan busuk dan akhirnya hancur. Ah..nyanyi saja..”dimana…dimana…dimana..”.
Kalau kita bicara latar belakang mengapa si ibu itu berprilaku demikian maka akan panjang ceritanya. Tapi bolehlah kita-kita ini yang berada di menara gading ini, membicarakannya sekedar menggugah semangat kita agar kita terutama saya bisa menjadi lebih peduli dengan apa yang terjadi di sekitar.
Secara membabi buta, saya katakana ibu itu telah berprilaku disorder (tanpa aturan alias kacau) tidak punya konsep kebersihan! Jorok!… e,e,e..tunggu dulu. Pantaskah dia dikatakan begitu? Kalau dia membuang sampahnya ke sungai, justru dia punya konsep kebersihan. Sebab, dia tidak ingin rumahnya kotor. Dia ingin rumahnya bebas dari sampah-sampah. Karena itu dia jauhkan sampah-sampah itu dari rumahnya dengan membuangnya ke sungai. Jadi, apa sebab dia membuang ke sungai?
Jawabnya, mungkin dia bingung harus membuang kemana. Sebab kalau harus membuang ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) mungkin terlalu jauh, capek. Sementara kalau harus membayar kurir alias tukang antar jemput sampah, waduh eman.. mending buat jajan anak atau buat tambah-tambah sayur di dapur. Sementara itu, di depan mata ada sungai..adduuuh, mana tahan?
Bisa jadi juga, mereka juga sebenarnya faham apa akibatnya dan bagaimana seharusnya, hanya saja mereka enggan untuk melakukan. Mereka hanya berpikir sebatas kebutuhan dan kenyamanan mereka sendiri.
Kalau satu ibu itu, dua yang lain, tiga ada yang seperti itu juga..hingga hampir semua warga sekitar sungai berperilaku seperti itu semua, apa yang akan terjadi? Nah, untuk sementara kulo nyuwun sewu lho.. untuk katakan kalau mereka-mereka ini adalah orang yang tidak punya aturan. Kalau sudah begini, sementara kita menyadari bahwa akibat perbuatan mereka dampaknya akan dirasakan semua tidak hanya warga sekitar sungai tapi se-kota Malang, se-Jatim, se-Indonesia, se-Asia hingga se-dunia. Masa’ kita diam saja?!
Pertanyaannya, siapa yang paling berhak ngatur mereka? Idealnya, yang ngatur mereka sebelumnya yang lain adalah diri sendiri. Ingat kata-kata: “Aturlah dirimu sebelum orang lain yang melakukannya!”. Saya yakin di antara para warga sudah banyak yang menyadari akan semestinya bagaimana tapi rupanya si warga yang sadar ini tidak ada kuasanya untuk mengikat warganya yang lain agar taati ikuti kesadaran itu bersama. Karena itu, menurut saya harus ada yang memaksa. Apa itu? Adanya aturan hukum yang jelas sebagai pedoman warga.
Aturan hukum ada, tidak hanya diperlukan kalau terjadi konflik, akan tetapi aturan hukum juga diperlukan untuk memberikan semacam rasa kepastian dan patokan yang bisa dipegang (rechts-zekerheid) oleh masyarakat/warga. Disini masyarakat memerlukan patokan yang jelas dimana dan dengan alas an-alasan apa mereka harus melakukan/melaksanakan perintah di dalam aturan hukum tersebut.
Memang terkadang kita menemukan konflik yang “laten dan mendalam” sifatnya, antara apa yang dirasakan adil (rechtmatig) dan apa yang dirasakan penting untuk suatu aturan hukum dan kebijakan di dalamnya (doelmatig). Tetapi yang pasti, dua-duanya memerlukan patokan yang jelas dan mantap, agar masing-masing pihak, baik masyarakat (yang diatur) maupun yang membuat aturan aturan kebijakan itu sendiri sehingga masing-masing tahu secara pasti bagaimana seharusnya berbuat.
Kawans, tulisan ini hanya pentilnya saja. Perjalanan hati dan pikiran kita masih panjang. Jangan berhenti..