Archive for the ‘GALAU’ Category

Makna Hukum

Friday, September 27th, 2013

Lamanya perjalanan waktu, sejak tahun 1999 hingga sekarang mempelajari hukum, ketika ditanya “apa makna hukum bagi saya?” seolah bumi ini tiba-tiba berhenti berputar. Ibarat sedang asyik menikmati komidi putar di tengah keramaian dan gemerlapnya pasar malam di bagian arena sirkus, tiba-tiba mati lampu sehingga sangat gelap gulita dan mendadak orang-orang menghilang sehingga suasana menjadi senyap dan mencekam. Begitulah kira-kira apa yang saya rasa saat itu.

Mengapa demikian? sebab, pertanyaan ini sangat mendasar bagi saya. Apalagi saya sebagai seorang akademisi, tentu tidak akan sembarang menjawab seperti layaknya orang awam pada umumnya yang mengatakan hukum itu, ya polisi, Jaksa, Hakim, pengadilan, pengacara, rambu lalu lintas, polisi tidur, dan sebagainya.

Mengapa mendasar? sebab, jawabannya kelak akan menentukan arah ilmu hukum itu sendiri..

Makna hukum, berarti juga apa itu hukum?

Dari masa ke masa pertarungan memberikan makna hukum selalu saja terjadi antara pembentuk undang-undang dengan hakim dan praktisi lainnya. menurut Prof. Frans Limahelu, makna hukum,

ditentukan oleh masalah-masalah besar, bukan masala-masalah remeh, tapi masalah yang dapat merenggut ke’eksistensi’an manusia lebih jauh lagi suatu negara.

Berikut Makna hukum yang disarikan dari bab pengantar buku Richard Posner “The Problem of Jurisprudence” tentang Pertarungan memaknai Hukum:

  Tokoh/Kisah Masa Makna Hukum
1. Antigone-Creon >< Polynices 5 SM Law as comformity to the dectates of nature
2. Thrasymachus 459 SM-400 SM The expression of values of dominant groups in society
3. Socrates 469 SM-399 SM Justice as something that man discovers rather than creates
4. Francis Bacon 1561-1626 Logika induktif
5. Thomas Hobbes 1588-1679 Law is the comand of the sovereign
6. King James I Abad XVII – Law is founded on reason

-Reasoning powers as good as judges

-only a person trained and experienced in law could exercise (legal formalism)

-“In cases where there is not express authority in law, the King may himself decide in his royal person; the Judges are but delegates of the King”

-“The King protecteth the law, and not the law the King! The King maketh judges and bishops. If the judges interpret the laws themselves and suffer none else to interpret, they may easily make, of the laws, shipmen’s hose!”

7. Edward Coke Abad XVII -“the King in his own person cannot adjudge any case, either criminal – as treason, felony etc, or betwixt party and party; but this ought to be determined and adjudged in some court of justice, according to the Law and Custom of England”

-“The common law protecteth the King”

-Law is not a body of ethical or religious principle that subtens inspires and is available to criticize specific judgements

-Law is a body of doctrines developed by judges and expressed or implied in their judicial opinions

8. Jeremy Bentham 1748-1832 The greatest happiness of the greatest number
9. Blackstones Abad XVIII  
10. Holmes 1881 Law is a prediction of what the judge will do
11. Benjamin Cardozo    
12. Roscoe Pound 1870-1964 Law as a tool of social engineering

 

13. H.L.Hart 1961 Law is a set of rule laid down by legislative, judges and other authorized
14. Ronald Dworkin 1931-2013 Law is defined broadly, loses distinctness-merging first with moral.

Dari berbagai makna hukum ini, untuk sementara (masih terus mempelajari) saya sependapat dengan pandangan Ronald Dworkin tentang Makna Hukum. Berikut Silogisme_Dworkin yang saya sarikan dari beberapa sumber. Honestly, Secara intuisi, saya prefer pandangan Aristoteles (yang asli lho, bukan yang sudah di kristenkan oleh Thomas Aquinas). Lebih jauh lagi, sebenarnya saya penasaran bagaimana hubungan antara pemikir-pemikir hebat sejak jaman dulu dengan para Nabi-nabi sejak jaman Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW. Where were they? adakah mereka-mereka di antaranya atau ini semua mereka? Wow, sangat menarik dan harus dicari jawabannya. Adakah my Bloggy Readers mau membantuku?

Persepsi yang salah

Monday, April 1st, 2013

Persepsi Kita
Senin, 1 April 2013

Sewaktu kami dalam perjalanan pulang dari Jogja menuju Malang, driver kami berhenti untuk ngopi menepi di sisi kanan jalan di depan SPBU di daerah entah dimana (saya baru terjaga dari tidur dan tidak ada tulisan apapun yang bisa saya saya jangkau untuk mengetahui lokasi saya) yang pasti sudah hampir 2 jam dari perbatasan Sragen-Ngawi. Lalu saya perhatian di seberang mobil kami tepat sebelum warung kopi tempat driver kami  beli ada cahaya biru kelip-kelip dari mobil patroli polisi. Sebelum saya tahu kalau driver mau ngopi, sambil mencoba memperjelas penglihatan, saya tanya ke driver, “ada apa, apakah kita ditilang?” jawab driver, “tidak bu, saya mau ngopi.” lalu saya bilang, “lho itu ada polisi, ga papa tah?”, jawab driver “nggak apa-apa bu, polisinya juga mau ngopi kayaknya.” lalu driver kami berlalu menuju warung kopi tersebut.

Sejenak, saya jadi berpikir. Mengapa saya tadi berpikiran seperti itu? Mengapa pertanyaan yang pertama kali muncul seperti itu? Padahal Polisi itu khan juga manusia, mereka tentu akan melakukan aktivitas keseharian lainnya sama seperti kita. Lalu, ku coba rasakan perasaan ku saat itu, terus terang, saya merasa tidak nyaman. Ada polisi di sekitar mobil kami, saya merasakan perasaan yang tidak nyaman. Kembali lagi saya bertanya pada diri sendiri. Mengapa seperti ini? Padahal semestinya, saya merasa nyaman, sebab polisi itu adalah perangkat hukum sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Mestinya yang saya rasakan adalah rasa aman dan nyaman. Ada polisi berarti kami terjaga dari perbuatan jahat orang lain.

Wah, ini pasti karena persepsi saya yang salah tentang polisi. Persepsi ini terbentuk karena suatu informasi yang saya terima secara terus menerus sejak lama. Saya masih ingat waktu kecil dulu, kalau saya nakal tidak mau nurut, tidak jarang saya ditakuti nanti akan ditangkap polisi. Atau ketika lagi di perjalanan, supaya tidak rewel saya ditakut-takuti tentang polisi bahwa polisi punya pistol, kalo nakal nanti ditembak. 
Terakhir saya berhadapan dengan polisi ketika saya ditilang motor di Jogja sebab tidak membawa SIM (karena baru belajar jadi belum punya SIM, punyanya SIM mobil). Itu rasanya mau terkecing-kencing gugupnya dan besoknya saya langsung bikin SIM motor. Meskipun sudah lengkap semua, ketika membawa motor atau mobil, tiap diperiksa kelengkapan oleh polisi selalu saja membuatku gemetar dan deg-deg an. Lucunya, bapak mertua saya adalah seorang Polisi, untungnya sudah pensiun jadi tidak pernah saya melihat beliau pakai seragam. Begitu juga dengan adik ipar dari suami saya yang juga polisi, untungnya ketemunya setahun sekali ketika lebaran, itupun dia tidak pakai seragam polisi.

Sekarang saya adalah seorang dosen ilmu hukum, tahu kalau polisi tugasnya apa dan tidak asal sembarang nangkap orang, ada syarat dan ketentuannya tapi tetap aja perasaanku seperti itu ketika lihat polisi. Secara logika mudah dibenahi sebab pengetahuan saya sudah lain, tapi secara perasaan serta reaksi sulit untuk diganti begitu saja.
Pelajaran dari pengalaman saya ini:
1. Jangan pernah memberikan informasi yang salah kepada orang lain apalagi kepada anak-anak. Sebab, informasi yang salah yang diberikan secara terus menerus-menerus akan membentuk persepsi seseorang. Bila sejak awal persepsinya salah, maka kesana-sananya akan sulit jadi benar, kalaupun benar jadinya terpaksa.
2. Untuk menilai efektivitas hukum persepsi memainkan peranan yang penting karena itu semestinya (pandangan sementara saya) ilmu sosiologi membuat cabang sendiri sebagai sosiologi hukum bukan fakultas hukum yang buka cabang sosiologi jadi induknya sosiologi sebab sosiologi tidak memberikan preskripsi/resep yang berkaitan dengan ilmu hukum. Tapi hasil kajian sosiologi ini akan digunakan oleh ilmu hukum. Sama halnya dengan kajian dari psikologi hukum dsb. Mereka hanya memberikan deskripsi atau resep sesuai dengan bidang ilmu psikologi.
3. Mestinya ada cabang khusus dari ilmu hukum yaitu ilmu penerapan hukum dan ilmu pembinaan hukum. Jadi bukan hanya menjadi tugas dari BPHN saja.

Eh, iya, saya jadi teringat dan merasa berdosa sebab pernah takuti anak2 tentang Pak RT ketika mereka rewel dan sulit diatur. Maafkan saya ya, insyallah ga gitu lagi..
Ini cerita saya, bagaimana ceritamu?

UB menuju “A World Class Enterpreneurial University”

Saturday, November 17th, 2012

Sebenarnya, apa sih artinya “Enterpreneurial University”? In my mind, enterpreneurial university artinya universitas yang memberdayakan potensinya untuk menjadi maju dan mandiri. Maju, artinya terus lebih baik dari sebelumnya. sedangkan mandiri, artinya dapat melakukan kegiatan sendiri tanpa harus bergantung pada yang lain. Nah, kira-kira apakah yang dapat dilakukan oleh kita sebagai civitas Universitas Brawijaya (UB) agar dapat menjadi enterpreneurial university yang saya maksud ini? eits, jangan lupa ada world classnya= kelas dunia. berarti standardnya dunia internasional. bagi saya, nanti dulu bicara internasional, nasional sajalah dulu. Ibarat kata ini sebuah jurnal atau semacam tulisan ilmiah, masalah bahasanya hal mudah, sekarang ada banyak trans tool yang dapat digunakan, yang penting itu adalah idenya.
Coba kita lihat, potensi apa yang ada pada kita (UB)? lihat profile UB. Wow, luar biasa! Bagi saya, UB sangat potensial. ada 12 Fakultas, 1.482 Dosen dengan 179 Guru Besar, 30.605 Mahasiswa belum lagi jumlah staf dan pegawai informal lainnya. Dengan segini banyaknya anggota, believe me, we are not alone! We can do it! Masalah kita adalah, kita tidak terhubung satu sama lain (we are not connecting) dan kita tidak saling bicara (we are not talking each other). Ketika Pak Rektor bicara visi dan misi UB, He is only talking to himself begitu juga para Dekan di fakultas masing-masing, they are talking to themselves! tidak lebih. Tidak ada yang salah dengan Pak Rektor dan para Dekan mereka selalu berusaha sampaikan dan mengajak, tapi tidak sampai ‘membakar’. kata-kata visi dan misi, seolah hanya kebutuhan pak Rektor dan para Dekan. Pak Rektor dan para bapak/ibu dekan, hayo dong ekspresif! Matanya Bicara! (seperti iklan) Teriakkan dengan lantang! bakar semangat dosen, staf dan mahasiswa! ayo kita maju bersama! Tularkan antusiasmu! Bila perlu seminggu sekali atau sebulan sekali, kumpulkan kami di lapangan rektorat, pidatolah di sana! teriakkan dengan lantang kita mau apa!
Sebab, tiap hari anggota civitas UB yang terdiri dari dosen, staf dan mahasiswa itu berangkat menuju kampus, di dalam kepala masing-masing ada banyak “isi” pikiran yang berbeda-beda. ada yang memikirkan anak-anaknya tidak ada yang menjaga di rumah, ada yang pikirkan bagaimana caranya dapat duit tambahan, ada yang pikirkan gimana bisa punya rumah dengan harga terjangkau tapi punya halaman luas, ada yang pikirkan adik ipar yang mau married dah butuh uang pinjaman, ada yang pikirkan gimana taklukkan hati si pujaan, ada yang mikir kapan dapat transferan uang kos dari ortu, pokoknya macam-macam.. karena itu, mari satukan persepsi mengenai tugas kita masing-masing. Take a part! and do our best!
Kita punya 12 fakultas dan beberapa Program: Hukum, Ekonomi, Ilmu Administrasi, Pertanian, Peternakan, Teknik, Kedokteran, Perikanan dan ilmu Kelautan, MIPA, Teknologi Pertanian, Ilmu Sosial dan Politik, Ilmu Budaya, Kedokteran Hewan, Pasca Sarjana, Vokasi dan PTIIK. Masing-masing fakultas mempunyai peran yang bisa sebagai “enterpreneur” ke dalam dan ke luar.
Ke dalam: Hitunglah, kira-kira ada berapa banyak kebutuhan kita di dalam UB itu sendiri? baik kebutuhan universitas sampai kepada kebutuhan fakultas secara sendiri-sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, mengapa tidak libatkan bagian diri UB itu sendiri? tapi dengan syarat transparan, demokratis dan menjunjung tinggi profesionalisme. Contohnya, saya sebagai dosen hukum agraria dan anggota Pusat Pengembangan Hukum Agraria (PPHA FH-UB) bersama anggota lainnya tentu akan siap bila universitas atau fakultas-fakultas lainnya membutuhkan bantuan konsultasi hukum di bidang Agraria atau Pertanahan seperti pengadaan tanah untuk perluasan areal kampus atau mekanisme hukum pada penataan ruang kampus dan sebagainya. Kegiatan ini bisa dalam bentuk hubungan kerja profesional atau masuk menjadi salah satu kewajiban kami sebagai sebagai dosen yaitu pengabdian masyarakat dalam tri dharma perguruan tinggi. Contoh lainnya, Fakultas Pertanian butuh areal pertanian sebagai laborariumnya sehingga butuh lahan pertanian pangan misalnya. Maka, saya, yang interest terhadap masalah Hak Atas Tanah Pertanian, InsyaAllah mau kok terlibat dalam hal perolehan dan pengadaan tanahnya.. why not? sekalian belajar. (hihihi, sekalian promosi diri).
Ke Luar: Tidak usah jauh-jauh, kota Malang saja. Bacalah, berapa macam kebutuhan kota malang? Contoh soal, warga Malang khususnya menengah ke bawah butuh tempat tinggal. Idealnya, status hukum tanah dan bangunan jelas, biaya bahan dan bangunan murah, fungsional dan indah di pandang mata. Masalah status hukum tanah dan bangunan, sekali lagi, InsyaAllah kami bisa bantu, (khusus menengah ke bawah, hitung saja Pengabdian masyarakat dengan modal Surat Tugas dari dekan, tapi kalau untuk menengah ke atas, boleh lah di hitung per-jam, hehehe). Lalu masalah rancangan bangunan dengan biaya murah, fungsional dan indah di pandang mata, siapakah ahlinya? tentu saudara-saudara kita dari teknik arsitektur. Kalau sudah di tangan seorang arsitek, semestinya rumah karduspun jadi bagus. Jadi kenapa tidak kita berdayakan?
Namun, untuk bisa Pede (percaya diri), ungkapkan interest seperti yang baru saja saya lakukan, I am so sure, saat ini, tidak semua dosen bahkan guru besar, staf dan mahasiswa dapat lakukan itu. Kenyataannya, banyak dari kita belum selesai dengan diri kita sendiri. We still don’t know what we want to be, where we will go and what to do. Karena itu, UB butuh lembaga semacam BK (Bimbingan Konseling/Karir) seperti yang ada di sekolah-sekolah jaman SMA dulu bukan seperti bagian kepegawaian yang urusi kepangkatan dan jabatan fungsional, tapi lebih kepada pendalaman minat, bakat dan pilihan-pilihan dalam membina karir. Sebab, bisa jadi saat ini ada banyak mahasiswa bahkan dosennya sendiri yang merasa “terjebak dan tersesat”, they are lost! and deep down their heart always trying to say “Somebody, Help me!”
Intinya, untuk menuju A world Class Enterpreneur University, ada 3 (tiga) hal yang harus kita lakukan: pertama, burning-out diri kita dalam satu tujuan bersama melalui pidato-pidato bersemangat oleh pimpinan UB mulai dari rektor hingga para dekannya apa yang disebut dengan “membumikan visi dan misi UB”. Kedua, Pahami potensi kebutuhan dalam dan luar UB, berdayakan diri and take a part on it! dan ketiga, adakan suatu lembaga semacam BK dan itu gratis…
Dari apa yang saya tuturkan ini, adalah sebagian langkah kecil bersama kita. Mari terus berusaha, berdoa dan Yakin Usaha Sampai. Wallahualam.

Kata-kata kita yang kita lontarkan=pedang bermata dua

Tuesday, November 13th, 2012

sumber: http://www.google.com/imgres?

seperti pedang bermata dua, ungkapan ini tepat untuk menggambarkan bagaimana efek atau dampak dari setiap perkataan yang terlontar di depan orang lain. yang mendengar berdarah-darah begitu juga yang berucap. Pagi ini saya ngajar Pengantar Hukum Indonesia, kelompok 1 prensentasikan paper mereka tentang Asas Hukum Islam. ketika diskusi berlangsung lumayan banyak pertanyaan dan tanggapan yang bagiku seperti “pedang bermata dua”. Khususnya bagi saya secara pribadi..jujur saja saya belum kaffah menjalani keislaman saya sendiri, begitu banyak kekurangan yang saya rasakan, tiap materi per materi yang disampaikan membuat hatiku kembali terasa bolong-bolong, seperti keju dimakan tikus. #NgajarSepenuhHati

Lebih dari sekedar sebidang tanah untuk tinggal

Tuesday, May 29th, 2012

Menjelang mandi sore, sambil antri kamar mandi, tiba-tiba aku terbayang tentang rumah dimana aku dilahirkan yaitu rumah kayu di sisi sungai di desa Tulung selapan, kabupaten OKI sekarang kabupaten pantai timur. memang bukan di atas tanah, meski di atas sungai tapi disana hubungan atau interaksi sosial terbangun, tidak semua tetangga itu keluarga dekat tetapi kami semua dekat. hal yang terasa ketika musim kemarau datang, sungai kami mengering hingga bisa untuk naik sepeda. Nah, yang punya sumur berair, mereka ikhlas air sumur mereka dibagi-bagi. Hubungan yang terjalin terus menerus ini berlangsung baik saat susah maupun senang. berada di kampung halaman membuat kita merasa tentram dan nyaman, semua orang mengenal kita dengan baik, bahkan tahu di saat ibu kita mengandung diri kita. Namun setelah berpuluh tahun pindah dari tempat itu, ketika kembali, semua terasa asing. sebab orang-orang yang dulu ada sudah berganti dengan orang lain. bukan cuma orang, tapi samping kiri kanan, sudah bangun sarang walet semua. Jujur, aku rindu kampungku dan orang-orangnya yang dulu.

dari mikir kampung halaman, sambil waktu giliran mandi, pikiranku merambah kepada pristiwa-peristiwa penggusuran di suatu pemukiman. Jadi aja, sambil mandi sambil mikir….

Di atas tanah terbentuk suatu hubungan sosial yang saling terikat satu sama lain. Bersama itu tumbuh perasaan nyaman dan aman di dalamnya. karena itu, bila terjadi suatu penggusuran atau pembebasan lahan dimana di atasnya terdapat suatu kelompok masyarakat atau warga yang mana terdapat jalinan hubungan sosial (interaksi terus-menerus secara menguntungkan) di antara mereka, maka hendaknya relokasi haruslah memikirkan agar hubungan sosial tersebut tetap dapat berjalan. tentunya dengan syarat bahwa kepindahan mereka di tempat baru tersebut membawa perubahan kehidupan mereka ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.
Contohnya, bila dikehidupan mereka sebelumnya lingkungan mereka jorok atau jauh dari standard hidup sehat, maka ditempat baru mereka harus bersih. Bila belum ada TPU, pemerintah atau pihak yang berkepentingan itu harus menyediakannya. Bila jarak tempuh dari tempat bekerja ke rumah menjadi lebih jauh, maka mestinya pihak yang berkepentingan wajib membuat surat usulan atau rekomendasi agar tempat bekerja di pindah atau tempatkan ke tempat terdekat.

Siapa yang harus melakukan semua ini? pihak yang berkepentingan. kalau mereka tidak mau gimana? harus dipaksa! siapa yang maksa? ya pemerintah dan masyarakat atau warganya itu sendiri. Gimana cara? dari pemerintah, ijinnya jangan diberikan. dari warga atau masyarakat jangan mau pilih pemerintah yang nggak perduli dengan kebutuhan warganya.
Masalahnya, apakah masyarakat tahu apa hak mereka? gimana caranya agar masyarakat jadi tahu dan pintar? aku jadi ingat alm.Gusdur dulu yang paling suka keluarkan wacana kontroversial di dalam masyarakat, sehingga heboh dan jadi bahan diskusi sehari-hari mulai di perguruan tinggi hingga di warung-warung kopi. Ah..Gusdur itu memang unik, mestinya sekarang ini ada sosok seperti Gusdur yang bisa memicu masyarakat untuk menjadi lebih pintar tanpa mereka sadari..

sebenarnya, yang ingin aku sampaikan disini bahwa sebidang tanah tempat tinggal bukan hanya sekedar untuk tinggal…
ocehanku ini, adalah keresahan hati dan pikiranku saja yang harus diungkapkan daripada menjadi jerawat batu. Kuyakin diluar sana ada banyak pihak yang sudah lama perjuangkan ini. kalau ada kegiatan nyata untuk ini, boleh aku ikut gabung meskipun hanya sekedar menularkan semangatnya saja atau bagian “heurei-heurei” we lah..